Kamis, 15 April 2010


PESTISIDA ALAMI
Tuhan menciptakan segala sesuatu sesuai dengan perannya masing-masing. Misalkan, hewan kecil seperti bakteri, diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk pengurai bangkai. Merekalah yang membusukkan bangkai tersebut agar tidak menjadi penyakit bagi makhluk hidup lainnya. Begitu pula dengan berbagai makhluk hidup lainnya seperti binatang, tumbuhan hingga makhluk kecil yang tidak bisa dilihat secara kasat mata.
Mereka saling berhubungan dan memiliki keterkaitan. Mereka saling berhubungan dan menjalin hubungan mutualisme. Bagaimana makhluk-makhluk hidup tersebut berhubungan dengan manusia? Makhluk-makhluk hidup ini tidak bisa melepaskan hubungan dengan manusia. Begitu pula sebaliknya, manusia sangat membutuhkan berbagai makhluk hidup untuk menjaga keseimbangan alam. Contoh nyata, sejak dulu, manusia umumnya memiliki mata pencaharian sebagai pe tani, manusia yang hi dup di manapun, tak terkecuali di Indonesia. Petani memiliki hubungan mutualisme dengan berbagai makhluk hidup, terutama hewan, yang berfungsi sebagai pestisida alami.
Hewan seperti Kukang atau Kuskus adalah salah satu pestisida alami yang disediakan oleh alam. “Kukang merupakan pengendali hama seperti belalang, ulat dan berbagai serangga yang menjadi hama pertanian lainnya,” terang Nono Suyatno dari International Animal Rescue di Ciapus Bogor. Selain Kukang, hewan pengendali hama lainnya adalah Elang. Jenis unggas ini merupakan binatang yang berada di puncak tertinggi dari rantai makanan. Elang berfungsi sebagai pengendali hama tikus yang efektif.
Keberadaan kedua jenis binatang ini sekarang semakin langka. Manusia melakukan perburuan liar, perdagangan liar dan pemanfaatan binatang-binatang tersebut secara ilegal. Kuskus atau Kukang, oleh manusia, dijadikan sebagai hewan peliharaan. Selain itu, Kukang juga diburu untuk dijadikan obat-obatan tradisional. Sedangkan, untuk bulu Kukang biasanya digunakan sebagai hiasan karena memiliki tekstur bulu lembut dan indah. Tak jauh beda dengan Kukang, Elang juga diburu dan diperjualbelikan untuk dijadikan hewan peliharaan.
Hal ini berakibat hama tak terkendali, karena pembasmi hama alamiah semakin berkurang. Para petani malah menggunakan pestisida yang membahayakan kelangsungan makhluk hidup bahkan manusia dalam mengendalikan hama. Oleh karena itu, diperlukan kearifan dan kebijaksanaan manusia dalam mempertahankan keseimbangan kehidupan. Manusia hendaknya tidak memutus suatu rangkaian jalinan kehidupan yang sudah diciptakan. Tuhan tidak semata-mata menciptakan segala sesuatu tanpa fungsi dan kegunaan. Bila manusia mengingkarinya, niscaya keseimbangan kehidupan di bumi akan terganggu. Hal ini mengakibatkan berbagai bencana yang merugikan manusia itu sendiri. Masihkah kita mencintai bumi tempat kita berpijak dan menjalankan kehidupan ini? Jika ya, mari jaga kelestarian berbagai makhluk hidup yang ada di bumi ini. (Iwa)
Kelompok Tani Nisambo Ciptakan Pestisida Alami
Link:
http://www.formatnews.com/?act=view&newsid=36506&cat=14

KELOMPOK TANI CIPTAKAN PESTISIDA ALAMI
formatnews - Polewali Mandar, 5/11 : Kelompok Tani Nisambo` di Kecamatan Mapilli, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat (Sulbar), berhasil menciptakan pestisida alami.
Salah seorang petani, Baharuddin, di Polman, Rabu, mengatakan, bahan-bahan pestisida ini berasal dari beberapa jenis tumbuhan dan bahan lain, seperti buah maja atau buah bila, air cucian beras, dan lengkuas.
"Bahan-bahan tersebut kemudian diparut hingga halus, lalu dicampur kemudian difermentasikan selama 14 hari. Setelah itu, barulah bisa digunakan," katanya.
Ia menambahkan, penggunaan pestisida ini dapat dilakukan melalui penyemprotan, dengan dosis 100 cc per tanki hingga 200 cc per tanki.
"Dosisnya memang lebih tinggi daripada pestisida kimia, karena ini dari bahan alami. Prosesnya pun lebih lambat dibanding bahan kimia," ujarnya.
Baharuddin menuturkan, pestisida ini dapat digunakan untuk membasmi ulat dengan hilipletis pada kakao.
Selain digunakan pada tanaman kakao, perstisida ini juga dapat dipakai untuk membasmi hama pada tanaman padi.
"Kami memang belum pernah melakukan percobaan pada tanaman lain. Akan tetapi, melihat sifatnya, kemungkinan juga bisa digunakan untuk tanaman lain," katanya.
Keuntungan dari penggunaan pestisida alami adalah risiko kerusakan tanaman lebih kecil, dan juga biaya yang dikeluarkan jauh lebih murah. Kesuburan tanah pun dapat terus dipertahankan.
"Harga pestisida kimia sekarang sangat mahal, sehingga kami sulit untuk membelinya. Berbeda halnya dengan pestisida ini, di mana bahannya mudah didapatkan dan dibuat sendiri, sehingga pengeluarannya juga lebih sedikit," katanya.
http://www.formatnews.com/?act=view&newsid=36506&cat=14




Alam tidak selamanya baik : Pestisida alami
Kata Kunci: makanan, pestisida alami, polusi, racun, senyawa alami,senyawa sintesis, tubuh
Ditulis oleh Soetrisno pada 01-01-2003
Banyak orang beranggapan bahwa senyawa sintesis (buatan) berkonotasi dengan hal yang ‘buruk’ dan yang baik selalu berasal dari zat alam. Sebenarnya anggapan tersebut tidak selamanya benar. Walaupun kita sering mendengar banyak perusahaan kimia yang mempunyai masalah dengan senyawa buangan yang berbahaya dan akibatnya menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan, masyarakat masih terus memakai senyawa sintesis untuk berbagai macam keperluan. Dilihat dari cara pandang yang berbeda, sebenarnya senyawa kimia alami tidak terlalu berbeda dengan senyawa sintesis.
Bagaimana alam membentuk senyawa-senyawa alami tersebut? Makluk hidup memiliki labotarium produksinya sendiri yang mampu memproduksi jutaan senyawa kimia, yang sebagian diantara sangat beracun. Sebagai contoh, beberapa tumbuhan yang memiliki kadar senyawa kimia beracun walau hanya sedikit mengakibatkan beberapa kasus keracunan (terutama anak-anak) akibat dari memakan kentang, minum teh, atau memakan jamur beracun, dan berbagai kasus lainnya.
Apa kegunaan senyawa kimia beracun tesebut bagi mahluk hidup khususnya tumbuhan? Tumbuhan tidak dapat menghindar dari pemangsa atau organisme yang merugikan seperti jamur, serangga, binatang, bahkan manusia. Mereka tidak memiliki organ yang mampu melindungi diri. Tetapi, mereka mampu memproduksi serangkaian senjata kimia, yaitu ‘pestisida alami’, yang cukup ampuh untuk pertahanan. Hingga saat ini lebih dari puluhan ribu dari ‘pestisda alami’ yang sudah diketemukani
Berdasarkan riset, orang Amerika mengkonsumsi 1.5g ‘pestisida alami’ perhari tiap orang, dalam bentuk sayur, buah-buahan, teh, kopi yang berarti 10.000 kali lebih banyak daripada mereka mengkonsumsi hasil residu dari pestisida sintesis. Kadar kandungan dari senyawa alami ini berkisar satu per satujuta (part per million : ppm), yang besarnya jauh diatas dari batas ambang polusi air yang biasanya diukur dalam satuan satu per satu miliar (part per billion : ppb). Beberapa diantara tanaman yang mengandung senyawa beracun itu hampir setengahnya senyawa yang menyebabkan kanker. Beberapa contoh diantaranya bisa dilihat di
 


Senyawa Kimia Tanaman
(konsentrasi dalam ppm)
Apel, wortel, seledri, anggur, kentang(50-200) kopi (1800)
Daun Kol(35-590); mustard (16.000-72.000); lobak (4500)
Jus jeruk(31); lada hitam(8000)
Basil(82), Teh jasmine(230); Madu(15)

Walaupun begitu, mengapa kita tidak semuanya menderita keracunan yang disebabkan oleh tumbuhan-tumbuhan tersebut? Salah satu alasannya adalah tingkat dari kerusakan yang kita derita dari senyawa tersebut sangatlah kecil. Yang lebih pentingnya, sama seperti tumbuhan, tubuh kita juga memiliki suatu sistem pertahanan yang mampu melawan senyawa-senyawa berbahaya. Sebagai contoh, garis pertama pertahanan kita, mulut, lambung, ginjal, kulit, paru-paru kita memiliki pertahanan yang cukup ampuh untuk menetralisir senyawa-senyawa beracun. Selain itu tubuh kita juga memliki mekanisme untuk mendeteksi senyawa-senyawa tersebut; tubuh kita meng-ekresi senyawa-senyawa berbahaya tersebut sebelum membahayakan tubuh, DNA kita juga memiliki kemampuan untuk memperbaiki kerusakan, dan yang terakhir, kita memiliki indra untuk mencium dan merasakan senyawa-senyawa yang ‘buruk’ (seperti senyawa alkaloid yang asam, makanan yang membusuk, susu yang kadaluarsa, telur yang berbau ‘belerang’) yang memberikan signal bahaya.

Pada akhirnya, kita harus bijak untuk menentukan apa yang diperlukan oleh tubuh kita; seperti pepatah lama mengatakan : jauhi konsumsi berlebih dan konsumsilah makanan beragam dan secukupnya.
Sumber: Organic Chemistry, Volhard


pestisida Alami dibuat manusia

Penggunaan pestisida buatan yang memakai bahan kimia
memang berbahaya bagi manusia. Kita sering merasa
waswas bila anak kita akan bisa menjangkaunya. Nah,
semoga artikel tentang pembuatan pestisida alami ini
dapat membantu memecahkan persoalan Anda (petani)
dalam melindungi kebun (lahan pertanian) sekaligus
keluarga.

Mimba (Azadiracta indica)
Cara pembuatannya dapat dilakukan dengan mengambil 2
genggam bijinya, kemudian ditumbuk. Campur dengan 1
liter air, kemudian diaduk sampai rata. Biarkan
selama 12 jam, kemudian disaring. Bahan saringan
tersebut merupakan bahan aktif yang penggunaannya
harus ditambah dengan air sebagai pengencer.
Cara lainnya adalah dengan menggunakan daunnya
sebanyak 1 kg yang direbus dengan 5 liter air.
Rebusan ini diamkan selama 12 jam, kemudian saring.
Air saringannya merupakan bahan pestisida alami yang
dapat digunakan sebagai pengendali berbagai hama
tanaman.

Tembakau (Nicotium tabacum)
Tembakau diambil batang atau daunnya untuk digunakan
sebagai bahan pestisida alami. Caranya rendam batang
atau daun tembakau selama 3 - 4 hari, atau bisa juga
dengan direbus selama 15 menit. Kemudian biarkan
dingin lalu saring. Air hasil saringan ini bisa
digunakan untuk mengusir berbagai jenis hama tanaman.

Tuba, Jenu (Derriseleptica)
Bahan yang digunakan bisa dari akar dan kulit kayu.
Caranya dengan menumbuk bahan tersebut sampai
betul-betul hancur. Kemudian campur dengan air untuk
dibuat ekstrak. Campur setiap 6 (enam) sendok makan
ekstrak tersebut dengan 3 liter air. Campuran ini
bisa digunakan untuk mengendalikan berbagai jenis hama
tanaman.

Temu-temuan (Temu Hitam, Kencur, Kunyit)
Bahan diambil dari rimpangnya, yang kemudian ditumbuk
halus dengan dicampur urine (air kencing) sapi.
Campuran ini diencerkan dengan air dengan perbandingan
1 : 2 - 6 liter. Gunakan untuk mengendalikan berbagai
jenis serangga penyerang tanaman.

Kucai (Allium schonaoresum)
Kalau menggunakan kucai, cara meramunya adalah dengan
menyeduhnya, yang kemudian didinginkan. Kemudian
saring. Air saringannya ini mampu untuk memberantas
hama yang biasanya menyerang tanaman mentimun.

Bunga Camomil (Chamaemelum spp)
Bunga yang sudah kering diseduh, kemudian dinginkan
dan saring. Gunakan air saringan tersebut untuk
mencegah damping off atau penyakit rebah.

Bawang Putih (Allium sativum)
Bawang putih, begitu juga dengan bawang bombai dan
cabai, digiling, tambahkan air sedikit, dan kemudian
diamkan sekitar 1 jam. Lalu berikan 1 sendok makan
deterjen, aduk sampai rata, dan kemudian ditutup.
Simpan di tempat yang dingin selama 7 - 10 hari. Bila
ingin menggunakannya, campur ekstrak tersebut dengan
air. Campuran ini berguna untuk membasmi berbagai
hama tanaman, khususnya hortikultura.

Abu Kayu
Abu sisa bakaran kayu ditaburkan di sekeliling
perakaran tanaman bawang bombay, kol atau lobak denga
tujuan untuk mengendalikan root maggot. Abu kayu ini
bisa juga untuk mengendalikan serangan siput dan ulat
grayak. Caranya, taburkan di sekeliling parit
tanaman.

Mint (Menta spp)
Daun mint dicampur dengan cabai, bawang daun dan
tembakau. Kemudian giling sampai halus untuk diambil
ekstraknya. Ekstrak ini dicampur dengan air
secukupnya. Dari ekstrak tersebut bisa digunakan
untuk memberantas berbagai hama yang menyerang
tanaman.

Kembang Kenikir (Tagetes spp)
Ambil daunnya 2 genggam, kemudian campur dengan 3
siung bawang putih, 2 cabai kecil dan 3 bawang
bombay. Dari ketiga bahan tersebut dimasak dengan air
lalu didinginkan. Kemudian tambahkan 4 - 5 bagian
air, aduk kemudian saring. Air saringan tersebut
dapat digunakan untuk membasmi berbagai hama tanaman.


Cabai Merah (Capsium annum)
Cara pembuatannya dengan mengeringkan cabai yang basah
dulu. Kemudian giling sampai menjadi tepung. Tepung
cabai tersebut kalau dicampur dengan air dapat
digunakan untuk membasmi hama tanaman.

Sedudu
Sedudu (sejenis tanaman patah tulang) diambil
getahnya. Getah ini bisa dimanfaatkan untuk
mengendalikan berbagai hama tanaman.

Kemanggi (Ocimum sanetu)
Cara pembuatannya: kumpulkan daun kemangi segar,
kemudian keringkan. Setelah kering, baru direbus
sampai mendidih, lalu didinginkan dan disaring. Hasil
saringan ini bisa digunakan sebagai pestisida alami.

Dringgo (Acarus calamus)
Akar dringgo dihancurkan sampai halus (menjadi
tepung), kemudian dicampur dengan air secukupnya.
Campuran antara tepung dan air tersebut dapat
digunakan sebagai bahan pembasmi serangga.

Tembelekan (Lantara camara)
daun dan cabang tembelekan dikeringkan lalu dibakar.
Abunya dicampur air dan dipercikkan ke tanaman yang
terserang hama, baik yang berupa kumbang maupun
pengerek daun.

Rumput Mala (Artimista vulgaris)
Caranya bakar tangkai yang kering dari rumput
tersebut. Kemudian manfaatkan asap ini untuk
mengendalikan hama yang menyerang suatu tanaman.

Tomat (Lycopersicum eskulentum)
Gunakan batang dan daun tomat, dan dididihkan.
Kemudian biarkan dingin lalu saring. Air dari
saringan ini bisa digunakan untuk mengendalikan
berbagai hama tanaman.

Gamal (Gliricidia sepium)
Daun dan batang gamal ditumbuk, beri sedikit air lalu
ambil ekstraknya. Ekstrak daun segar ini dan batang
gamal ini dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai
jenis hama tanaman, khususnya jenis serangga.

Bunga Mentega (Nerium indicum)
Gunakan daun dan kulit kayu mentega dan rendamlah
dalam air biasa selama kurang lebih 1 jam, kemudian
disaring. Dari hasil saringan tadi dapat digunakan
untuk mengusir semut.

===
W a s s a l a m
~~ zoema ~~

==============================================
"Ya Tuhan kami, jangankan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri
petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau, karena
sesungguhnya Engkaulah Maha pemberi karunia" [QS 3 : 8]
==============================================
____________________________________________________


Thursday, February 5, 2009
PESTISIDA ALAMI: DAUN PAPAYA

Bandung, Jl. Alfa No. 92, Cigadung II, 6 Februari 2009
Foto: http://www.photoatlas.com, Daun Papaya

Oleh: Sobirin
Daun papaya bisa dimanfaatkan untuk dibuat menjadi pestisida alami untuk memberantas hama serangga yang mengancam tanaman kita. Pestisida alami buatan sendiri sebaiknya kita coba sebagai sistem pengendalian hama di pertanian rumah tangga kita. Caranya?

Ambil daun papaya sebanyak kurang lebih 1 (satu) kilogram, atau kira-kira sekitar 1 (satu) kantong plastik kresek besar. Lalu dilumatkan (bisa diblender) dan dicampurkan dalam 1 (satu) liter air, kemudian dibiarkan selama kurang lebih 1 (satu) jam. Langkah berikutnya disaring, lalu ke dalam cairan daun papaya hasil saringan ditambahkan lagi 4 (empat) liter air dan 1 (satu) sendok besar sabun.

Ampas lumatan daun papaya bisa dimasukkan ke dalam komposter untuk tambahan bahan kompos. Cairan air papaya dan sabun sudah dapat digunakan sebagai pestisida alami.

Semprotkan cairan ini pada hama-hama yang mengganggu tanaman kita. Semprotan pestisida air papaya dan sabun ini dapat membasmi aphid (kutu daun), rayap, hama-hama ukuran kecil lainnya, termasuk ulat bulu.

Sebagai catatan, pestisida alami ini hanya digunakan bila diperlukan. Jangan menyemprotkan pestisida alami ini bila tidak terdapat hama pada tanaman kita. Biarkan tanaman itu sendiri menangkal hama secara alami.

Referensi:
Yayasan IDEP. 2006. Buku Panduan untuk Permakultur Menuju Hidup Lestari. IDEP Foundation - www.idepfoundation.org. ISBN: 979-15305-0-5.
Poste



BEBERAPA KENDALA DALAM
MEMPRODUKSI PESTISIDA NABATI
W. Darajat Natawigena
Staf Pengajar Jurusan Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian UNPAD
(Disajikan dalam Seminar Nasional ‘PHT Promo 2000’ tanggal 29 Juni 2000)


I PENDAHULUAN

Dalam kaitannya dengan upaya meningkatkan kualitas produk yang berorientasi
eksport, khususnya kekuatan ekonomi di Eropa dan AS yang dengan ketat telah
mensyaratkan peraturan bebas residu pestisida, maka aplikasi perstisida nabati padatanaman hias dan hortikultura, perlu memperoleh perhatian untuk dikembangkan,karena relatif tidak mencemari lingkungan, efek residunya relatif pendek dankemungkinan hama tidak mudah berkembang menjadi tahan teerhadap pesrisidanabati. Di lain pihak, kebijaksanaan Pemerintah yang memperhatikan kelestarianl ingkungan secara global dan keprihatinan kita tentang akibat samping yang tidak diinginkan dari penggunaan pestisida anorganik sintetik, mendorong minat untukmengembangkan pestisida nabati yang lebih ramah lingkungan sehingga dapat diterima sebagai salah satu komponen penting dalam PHT (Pengendalian HamaSecara Terpadu).

Prospek pengembangan pestisida nabati di Indonesia cukup baik karena ditunjang
oleh sumber daya alam yang berlimpah. Indonesia memiliki salah satu kebun raya
terbaik di dunia. Masih banyak tanaman di Kebun Raya Bogor maupun cabangnya diPurwodadi yang manfaatnya belum diketahui sepenuhnya. Sifat dari tumbuhan yang berkerabat dekat dengan tumbhan yang telah diketahui mengandung bahan aktifpestisida perlu diteliti. Salah satu hal menarik (yang mungkin patut disayangkan) ialah bahwa banyak peneliti di negara-negara lain, missal Jepang, Jerman dan Kanada, yang mengambil contoh tumbuhan dari Kebun Raya Bogor untuk diteliti kandungan senyawa bioaktifnya.Di beberapa negra maju, jika ditemukan bahan alami yang berpotensi sebagai pestisida maka lebih dulu diidentifikasi ssenyawa (bahan aktif) apa yang paling berperan. Sifat fisik dan kimiawi dari senyawa tersebut dipelajari sebagai prototip untuk dapat disintetis di laboratorium. Dengan senyawa murni dilakukan pengujian-pengujian meliputi daya bunuhnya, cara kerjanya (mode of action), daya racunnya terhadap hewan bukan sasaran dan sifat-sifatnya di lingkungan. Bentuk formulasidipelajari untuk dapat menghasilkan produk yang efektif. Dengan prosedur demikian
diperoleh pestisida yang jelas spesifikasinya, sehingga dapat diproduksi secara
industri. Dengan demikian hutan trofika dan salah satu kebun raya terbaik di dunia,
sebenarnya kita memiliki kesempatan yang baik dalam pengembangan produksi
pestisida nabati. Namun demikian dalam rangka pengembangan produksi pestisida
nabati kita masih mengalami beberapa kendala dan beberapa hambatan, serta masih kurangnya pemahaman tentang pengembangan pestisida nabati yang berorientasi industri maupun yang berorientasi pada penerapan usaha tani berinput rendah.

Dalam rangka pengembangan pestisida nabati, masih diperlukan penelitian-
penelitian yang mendasar tentang mekanisme kerja masing-masing jenis pestisida
nabati, masalah pengaruh suhu, sinari matahari (radiasi UV), kelembaban,
bagaimana mengawetkan, standarisasi dan lain-lain. Di samping itu juga diperlikan
strategi pengembangan pemanfaatan pestisida nabati yang dapat diproduksi secara
murah dan dapat diterapkan di masyarakat.

II. KENDALA PENGEMBANGAN PESTISIDA NABATI
Kurang berkembangnya penggunaan pestisida nabati selain kalah bersaing dengan
pestisida sintetis juga karena ekstrak dari tanaman biasanya kadar bahan aktifnya
tidak tetap, bervariasi dan tidak stabil. Nikotin, walaupun sudah lama diketahui
sebagai pestisida, tetapi kurang diminati karena hanya efektif terhadap jenis-jenis
serangga hama kecil yang berkulit tipis. Di Indonesia Rotenon, yang berasal dari
tanaman D. elliptica, terdesak oleh pestisida sintetik karena harganya lebih murah.
Untuk memasyarakatkan kembali penggunaan pestisida nabati, diperlukan kegiatan
penelitian yang berkelanjutan, mengubah kebiasaan petani (social-budaya),
penguasaan teknologi dan mampu bersaing di pasaran.

1. Kegiatan Penelitian Pestisida Nabati Masih Belum Terpadu
Saat ini kerjasama antar disiplin ilmu di perguruan tinggi (khususnya UNPAD) untuk mengembangkan pestisida nabati masih kurang. Hal ini terbukti dari belum
terbentuknya unit jasa dan industri (UJI) tentang pestisida yang sebenarnya
pembentukan UJI ini telah diharapkan oleh DIKTI semenjak Desember 1999.
beberapa disiplin ilmu yang diperlukan untuk mengembangkan pestisida nabati
secara komersial di antaranya adalah : Ahli Ilmu Hama & Penyakit Tumbuhan; Ahli Kimia (Kimia Organi & Anorganik); Ahli Biologi; Ahli Ekonomi; dll.
Pelaksanaan penelitian terhadap pestisida masih terputus-putus, menyebabkan
informasi dan data yang dihasilkan belum dapat dijadikan dasar bagi pengembangan pestisida nabati selanjutnya. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian yang berkelanjutan dan terpadu, mulai dari apek tanamannya sendiri sampai kepada aspek pemasaran, sehingga dapat sitentukan arah dan strategi dari pengembangan pemenfaatan pstisida nabati secara jelas dan tuntas.

2. Mahalnya Biaya Untuk Mengembangkan pestisida Nabati
pengembangan pestisida nabati dari mulai pemilihan jasad sasaran, pemilihan jenis
bahan aktif, penyediaan bahan baku, ekstraksi, pemurnian, pembuatan formulasi,
paten, registrasi, pabrikasi dan pemasaran, memerlukan waktu dan biaya yang
sangat besar. Karena menyangkut biaya yang mahal maka dalam pelaksanaannya
diperlukan suatu kerjasama dengan pengusaha. Sampai saai ini masih sedikit
pengusaha yang tertarik untuk mengembangkan pestisida nabati, hal ini
dimungkinkan karena tidak jelasnya jaminan ketersediaan bahan baku juga karena
terlalu mahalnya biaya pengurusan perizinan serta panjangnya birokrasi yang perlu
ditempuh untuk sampai dapat memesarkan suatu jenis produk racun hama/pestisida
nabati.

3. Kebiasaan Petani (Sosial-Budaya) dalam Menggunakan Pestisida Sintetik
Dalam periode ini masih banyak petani beranggapan bahwa penggunaan pestisida
sintetik dapat menjamin keselamatan hasil tanamannya. Oleh karena itu, ada atau
tidak ada hama terutama pada tanaman ekonomis dilakukan aplikasi pestisida (hal
ini menyalahi aturan strategi PHT). Sebagai akibat dari pengertian yang dianut
tersebut, muncul dampak negatif yang tidak diharapkan. Kebiasaan penggunaan
pestisida sintetik dengan sistem kalendeer tersebut merupakan masalah yang sangat
serius dalam rangka pemasyarakatan penggunaan dan pemanfaatan pestisida
nabati. Untuk mengubah kebiasaan mereka perlu ditingkatkan kegiatan penyuluhan
mengenai pemanfaatan pestisida nabati, dan mereka perlu bukti bahwa pestisida
nabati memang lebih baik dari pestisida sintetik. Untuk itu perlu waktu yang relatif
lama, kerja keras dari semua pihak dan kesadaran petani untuk kembali
memanfaatkan dan menggunakan pestisida nabati.

4. Rendahnya Penguasaan Teknologi Pembuatan Pestisida Nabati
Masih terbatasnya penguasaan teknologi dalam pembuatan pestisida nabati, dari
mulai teknik penyediaan bahan baku sampai produksi. Sampai saat ini tanaman
penghasil pestisida nabati belum ada yang dibudidayakan petani. Belum
dibudidayakannya tanaman tersebut di Indonesia antara lain disebabkan oleh
penguasaan teknologi yang masih rendah, baik teknik budidayanya maupun
teknologi pengolahan produk siap pakai. Oleh karena itu untuk memasyarakatkan
penggunaannya, pemilihan bahan baku, teknik budidaya, manipulasi bahan dan atau
teknoligo tepat guna lainnya perlu diteliti dan dikaji sebelum dikembangkan untuk
pestisida nabati.

5. Pestisida Sintetik Mendominasi Pasar
Pestisida sintetik mudah dipakai dan mudah didapat serta hasilnya segera terlihat
merupakan suatu keunggulan yang telah mendesak/melenyapkan penggunaan
pestisida nabati di pasaran. Juga dari segi harga kalah bersaing, sebab pestisida
sintetik dibuat dari bahan kimia dan bahan bakunya tersedia dalam jumlah banyak
menyebabkan harga produk relatif lebih murah. Sedangkan pestisida nabati yang
dibuat dari bahan alamiah dan bahan bakunya terbatas (belum dibudidayakan secara luas) menyebabkan harga produknya relatif mahal.

III. PENGEMBANGAN PESTISIDA NABATI SECARA INDUSTRI
Pengembangan industri pestisida nabati sebenarnya tidak berbeda jauh dengan
pengembangan industri pestisida sintetis. Perbedaannya terletak pada cara
memperoleh bahan aktif. Pada industri pestisida nabati, bahan aktif telah disintesa
oleh tumbuhan dan tinggal dilakukan proses ekstraksi. Selanjutnya adalah proses
yang sama yaitu pembuatan formulasi, mendaftarkan paten, malakukan pengujian,
registrasi dan memproduksi pestisida itu sendiri.

1. Penyediaan bahan aktif
Bahan aktif dari tumbuhan dengan pelarut tertentu; setelah ekstraksi seringkali
diikuti dengan proses teertentu untuk meningkatkan kadar bahan aktifnya, kemudian ekstrak dikemas dalam formulasi yang sesuai. Saat ini proses ekstraksi dengan pelarut organic merupakan proses yang mahal sehingga harga formulasi pestisida nabati tidak selalu murah daripada harga formulasi pestisida sintetik. Harga formulasi pestisida nabati akan makin mahal bila di negara produsen formulasi tersebut pasokan bahan mentah (tumbuhan sumber ekstrak, pelarut untuk ekstraksi dan bahan tambahan untuk formulasi) terbatas. Untuk penyediaan bahan aktif dapat dipilih gabungan beberapa senyawa bioaktif dalam bentuk teknis berupa ekstrak. Bahan aktif ini lebih ekonomis penyediaannya dan diduga mempunyai keuntungan memperlambat timbulnya resistensi terhadap senyawa-senyawa bioaktifnya.

2. Pembuatan formulasi
Kandungan bahan aktif perlu diatur sedemikian rupa agar formulasi yang diperoleh
selain stabil juga mudah larut dalam air. Ke dalam formulasi juga ditambahkan
bahan pelarut, bahan pengemulsi serta bahan pembawa. Formulasi yang diperoleh
kemudian diuji untuk menentukan sifat fisik dan kimia serta ketahanannya pada
penyimpanan.

3. Paten
Pengembangan suatu formulasi pestisida nabati memerlukan waktu lama dan dana
yang sangat besar. Untuk itu telah dimintakan perlindungan hokum atas proses
pembuatan formulasi pestisida dalam bentuk paten ke Direktorat Jendral Hak Cipta,
Paten dan Merek atau Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Permohonan dapat
diajukan dengan melengkapi persyaratan administrasi berupa surat permintaan
paten dan persyaratan fisik berupa uraian penemuan.

4. Pengujian efikasi dan toksisitas
Pengujian efikasi formulasi perlu dilakukan di laboratorium sebagai uaya
mengendalikan mutu formulasi yang diperoleh. Uji toksikologi juga perlu dilakukan
untuk mengetahui tingkat toksisitas pestisida nabati terhadap mamalia dan hewan
bukan sasaran lainnya.

5. Registrasi
Formulasi pestisida perlu diproses dan didaftarkan di Komisi Pestisida. Kendala yang
dihadapi dalam proses registrasi diantaranya adalah dalam melengkapi data
toksikologi. Tidak seperti pestisida sintetis, literature yang tersedia untuk data
toksikologis mamalia dan lingkungan untuk pestisida nabati sangat terbatas. Perlu
dilakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga yang berwenang untuk melakukan
pengujian toksikologi jangka pendek dan jangka panjang.

6. Produksi
Dalam rangka pembangunan pabrik, perlu dilakukan studi perbandingan ke pabrik
pestisida yang telah maju di luar negeri. Juga perlu dipelajari cara-cara penanganan
limbah industri dari pestisida nabati tersebut.

IV. PENGEMBANGAN PESTISIDA NABATI SECARA SEDERHANA
Yang dimaksud dengan pengembangan pestisida nabati secara sederhana adalah
memanfaatkan pestisida nabati yang berorientasi pada penerapa usaha tani berinput
rendah. Para petani sering menggunakan sediaan sederhana tumbuhan untuk
pengendalian hama. Pengetahuan tersebut biasanya diwarisi dari generasi
sebelumnya atau diperoleh dari petani tetangganya, dan bahan tumbuhan yang
digunakan adalah yang mudah diperoleh di sekitar lahan pertanian atau tempat
tinggalnya. Pengetahuan tersebut perlu diteliti kembali dan diuji keampuhannya oleh
Perguruan Tinggi, untuk disempurnakan dan dibuat standarisasinya.
Cara sederhana pemanfaatan pestisida nabati yang umum dilakukan oleh petani di
Indonesia dan di negara berkembang lainnya adalah penyemprotan cairan perasan
tumbuhan (ekstraksi dengan air), pengolahan sederhana, penempatan langsung atau
penyebaran bagian tumbuhan di tempat-tempat tertentu pada lahan pertanaman,
pengasapan (pembakaran bagian tanaman yang mengandung bahan aktif pestisida),
penggunaan serbuk tumbuhan untuk mengendalikan hama di penyimpanan, dan
pembuatan pestisida nabati dengan cara fermentasi.

1. Penggunaan cairan perasan tumbuhan
Sebelum insektisida anorganik sintetik digunakan secara luas, para petani di Jawa
sering menggunakan cairan perasan daun tembakau dan akar tuba untuk
mengendalikan kutu tanaman dan beberapa jenis hama ulat pada tanaman palawija
dan sayuran tertentu. Cairan perasan umbi gadung (Dioscorea hispida) dan biji
anona (Annona reticulate) sering digunakan oleh petani di Jawa Barat untuk
mengendalikan berbagai jenis hama ulat. Petani sayur di daerah Pangalengan, Jawa
Barat pernah menggunakan cairan perasan kacang babi (Mucuna sp.) untuk
mengendalikan ulat grayak (Spodoptera exigua) pada bawang. Salah satu pondok
pesantren di Ciwidey Al Ittifaq, membuat fungisida nabati dengan cara menggiling
cikur (kencur) dan bawang putih kemudian diperas untuk mendapatkan cairannya.
Untuk mengendalikan jamur cairan cikuer dan bawang putih tersebut dicampur dulu dengan air. Air rebusan biji mahoni (Swietenia macrophylla) di daerah Lebak, Jawa Barat, sering digunakan untuk mengendalikan hama kepindinng tanah (Scotinophara cinerea) dan walang sangit (Leptocorixa acuta) pada tanaman padi. Sejumlah petani padi di daerah Yogyakarta menggunakan campuran cairan perasan daun banglai (Zingiber casswnunar) dan jeringau (Acorus calamus) untuk mengusir jenis hama wereng. Alkaloid Dioscorine dalam umbi gadung dan alkaloid Nicotine dalam daun tembakau bersifat cukup polar dan mudah diekstraksi dengan menggunakan air biasa. Namun, kemampuan air dalam mengekstrak bahan aktif pestisida dari tumbuhan umumnya terbatas, karena senyawa aktif tersebut merupakan senyawa organic yang kesetimbangan kepolarannya umumnya lebih cenderung non polar. Sehingga dalam ekstraksi dengan air diperlukan lebih banyak bahan tumbuhan bila dibandingkan dengan ekstraksi dengan bahan pelarut organic. Namun demikian, kelebihan bahan yang diperlukan tersebut mungkin masih lebih murah dari pada perbedaan biaya
antara ekstraksi dengan menggunakan pelarut organic dan ekstraksi dengan air.
Bahan aktif pestisida dalam tumbuhan tertentu, terutama dalam biji yang
mengandung cukup banyak minyak, dapat diekstrak secara lebih baik menggunakan air yang ditambah pengemulsi (missal Triton 0.2 %). Bila harga pengemulsi tersebut dirasakan mahal, sebagai gantinya dapat digunakan deterjen bubuk (1 g/lt air). Cairan perasan pestisida dari biji sejumlah tumbuhan Meliaceae, seperti Azadirachtaindica, Melia excelsa serta dari biji tumbuhan Annonaceae, seperti Annona squamosa, A. glabra, dan A. reticulate dapat dibuat dengan cara sederhana tersebut.

2. Pengolahan Sederhana
Pak keme, seorang anggota Kelompok Tani Marga Rahayu Desa Jangraga
Kecamatan Padaherang Kabupaten Ciamis, telah berhasil membuat rodentisida
nabati . rodentisida nabati tersebut dioleh secara sederhana dari bahan umbi gadung (Dioscorea hispida), buah aren (Arenga pinnata), singkong (Manihot utilissima), nenas (Ananas sativus) dan kelapa (Cocos nucifera). Cara pembuatannya adalah sebagai berikut : Buah aren dipotong dua dan direbus agak lama, setelah itu buah-buah arennya diangkat, dan masukkan umbu gadung, singkong dan nenas yang telah dicincang ke dalam air rebusan buah aren tadi. Kemudian dimasak sambil diaduk-aduk sampai matang dan terbentuk seperti agar. Setelah itu didinginkan, sebelum diumpankan di lapangan terlebih dahulu ditaburi kelapa parut. Kabarnya campuran tersebut disuaki oleh tikus dan sekaligus membunuhnya.

3. Penempatan Langsung
beberapa bahan tumbuhan disebarkan atau ditempatkan secara langsung untuk
mengusir hama dari pertanaman tertentu. Sebagai contoh, kulit batang suren (Toona sureni) digunakan oleh petani di Jawa Barat untuk mengusir hama walang sangit pada tanaman padi. Di daerah persawahan pasang surut di Delta Upang, Sumatera Selatan, daun serai (Andropogon nardus) disebarkan di pematang saawah untuk mengusir hama padi. Di beberapa daerah di Jawa Timur, kulit buah durian diletakkan dibawah balai-balai untuk mengusir kutu busuk Cimex lectularius.

4. Pengasapan
Pengendalian hama dengan cara pembakaran bagian tanaman yang diduga
mengandung bahan yang dapat membunuh atau mengusir serangga hama lebih
terbatas bila dibandingkan dengan penggunaan cairan perasan tumbuhan. Sebagai
contoh, di Jawa daun Achasma walang Val. (Zingiberaceae) setengah kering dibakar
pada sudut-sudut sawah untuk mengusir sejenis walang sangit Leptocorixa acuta
dan asap bakaran kulit buah duku kering dilaporka dapat megusir nyamuk (Heyne,
1987).

5. Penggunaan Serbuk Tumbuhan
Serbuk daun srikaya (Annona squamosa) dilaporkan digunakan untuk melindungi
biji-bijian yang disimpan. Selain itu biji srikaya dapat digunakan untuk embasmi kutu
anjing (Heyne, 1987), serta campuran serbuk biji srikaya dan minyak kelapa di Jawa digunakan untuk membuhuk kutu kepala Pediculus humanus L.

6. Pembuatan pestisida nabati dengan fermentasi
Pembuatan pestisida nabati melalui fermentasi telah dilakukan di Pondok Pesantren Al Ittifaq di daerah Ciwidey. Insektisida nabati dibuat dengan cara mencampurkan kacang babi, gula merah, bawang putih, bawang merah, cabe rawit, temu lawak dan MFA (mikroorganisme fermentasi alami). MFA tersebut mengandung bakteri Saccharomyces sp., Lactobacillus sp., Cellulomonas sp. dan Rhizobium sp. Semua bahan tadi digiling lalu dicampur dengan air beras, lalu dibiarkan selama 14 hari. Pestisida tersebut kabarnya ampuh dalam mengendalikan Plutella xylostella yang menyerang kubis.Selain contoh-contoh temuan pestisida nabati yang telah diuraikan di atas,sebenarnya masih banyak temuan-temuan pestisida nabati lain yang dikembangkan sendiri oelh kalangan masyarakat secara sederhana yang berorientasi pada
penerapan usahan tani berinput rendah, namun biasanya informasi tentang
formulasi dan pembuatannya kurang lengkap. Hal ini diduga menyangkut masalah
‘hak paten’ dari penemu pestisida tersebut. Sehingga perlu suatu sinergi kerjasama
antara penemu pestisida nabati dengan Llembaga Pemerintah atau Perguruan Tinggi, Lembagai Swadaya Masyarakat dan Pengusaha, agar pestisida nabati tersebut dapat dikembangkan, dan dapat memasyarakat dan dapat diproduksi secara massal.

V. KESIMPULAN DAN SARAN
Beberapa kendala dalam pengembangan pestisida nabati di Indonesia antara lain
adalah : kegiatan penelitian antar disiplin ilmu ahli pestisida masih belum terpadu;
Masih sedikit pengusaha yang tertarik untuk mengembangkan pestisida nabati,
karena ketidakjelasan jaminan penyediaan bahan baku serta bahan aktif dari
tanaman yang tidak sama/tetap, bervariasi dan tidak stabil; Terlalu mahalnya biaya
pengurusan perizinan serta panjangnya birokrasi yang perlu ditempuh untuk estisida
nabati; Masih berakarnya ketergantungan dan kebiasaan petani (social-budaya)
dalam menggunakan pestisida sintetik; Masih rendahnya penguasaan teknologi
pembuatan pestisida nabat: Pestisida sintetik telah mendominasi pasar daripada
pestisida nabati dan masih kurangnya kesadaran masyarakat tentang manfaat
penggunaan pestisida nabati yang lebih ramah lingkungan.
Indonesia dengan kekayaan sumber daya yang tidak ternilai besarnya, mempunyai
potensi untuk mengembangkan berbagai jenis tanaman penghasil pestisida nabati.
Dalam rangka pengembangan pembangunan dan pemanfaatan pestisida nabati perlu
dilakukan penelitian yang berkelanjutan dan terpadu mulai dari aspek tanamannya
hingga aspek pemasarannya, sehingga arah dan strategi pengembangannya dapat
diselesaikan secara jelas dan tuntas. Pengetahuan pembuatan pestisida nabati yang
ada di kalangan masyarakat perlu diteliti kembali dan diuji keampuhannya oleh
Perguruan Tinggi, untuk disempurnakan dan dibuat standarisasinya.
Berbagai langkah yang menyangkut identifikasi bahan aktif, pengembangan
formulasi, validasi, efikasi, uji keamanan terhadap tanaman dan jasad bukan
sasaran, toksikologi, pendaftaran dan penjajagan pasar perlu ditempuh untuk
mengembangkan pestisida nabati berskala industri. Pengembangan penyediaan
bahan baku, efektivitas dan kestabilan formulasi merupakan kata kunci untuk
keberhasilan pengembangan industri pestisida.

PUSTAKA
Djoko Prijono dan Hermanu Triwidodo, 1993. Pemanfaatan Insektisida Nabati di
Tingkat Petani, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, IPB
Bogor.
Heyne, K., 1987. Denuttige planten van Indonesie. NV. Uitgeverijw. Van Hoeve S-
gravenhage, Bandung.
Natawigena, H., 1990. Pengendalian Hama Terpadu, Penerbit CV. Armico Bandung.
Natawigena, H., 1992. Pengendalian Hama Secara Hayati. Penerbit TRON, Bandung.
Natawigena, H., 1993. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Penerbit Trigenda Karya,
Bandung.
Permana, AD., T. Aditya dan S. Sastrodihardjo, 1993. Pengembangan Pestisida
Mimba, PAU Ilmu Hayati ITB.
Sjafril Kemala dan Ludi Mauludi, 1993. Potensi Sumberdaya dan permasalahan
Pengembangan Pestisida Nabati di Indonesia, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat, Bogor.





Integrasi Sistem Pengendalian Hama
Terpadu ke dalam Model Pengelolaan
Tanaman Terpadu
Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan mengandalkan satu komponen pengendalian, terutama pestisida, berpotensi merusak lingkungan. Undang-Undang No.12/1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman menekankan pentingnya pengendalian hama terpadu (PHT). Dikaitkan dengan upaya peningkatan produksi, pendapatan petani, daya saing produksi, dan pelestarian lingkungan maka sistem PHT perlu diintegrasikan ke dalam model pengelolaan tanaman terpadu (PTT).

bentuk institusi seperti Balai Proteksi Tanaman di hampir setiap propinsi, Sentra Peramalan Hama dan Penyakit, serta Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit Tanaman untuk mendukung penerapan PHT. Peran petani di masa itu sangat kecil dan sebagian besar dari mereka belum memahami arti PHT. Ketika terjadi ledakan populasi
wereng coklat pada tahun 1986 di Jawa Tengah, yang merusak 75.000 ha pertanaman padi, timbul kesadaran akan pentingnya mengubah pola penerapan PHT. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa penggunaan insektisida secara tidak terkendali berdampak luas terhadap kerusakan lingkungan, terutama musuh alami. Melalui Dekrit Presiden No. 3 tahun 1986, pemerintah melarang penggunaan 57 jenis insektisida yang dapat menimbulkan resurjensi hama tanaman padi. Partisipatif Poin penting lainnya dari dekrit tersebut adalah perlunya upaya untuk meningkatkan partisipasi petani dalam menerapkan PHT dengan cara meningkatkan pengetahuan petani. Sehubungan dengan itu dilakukan pelatihan bagi petani melalui Sekolah Lapang PHT (SLPHT). Bekerja sama dengan Bank Dunia, pemerintah telah melatih lebih dari satu juta petani, termasuk 27.000 petani yang memiliki kemampuan sebagai pelatih PHT. Tujuan dari kegiatan ini antara lain adalah untuk menjadikan petani sebagai ahli PHT. Dengan demikian, mereka diharapkan mampu mengidentifikasi masalah di lapang dan mengambil keputusan yang terbaik bagi pengendalian hama di areal pertanamannya. Pola pengendalian ini dikenal dengan pola partisipatif. Keuntungan penerapan PHT setelah petani dilatih melalui SLPHT antara lain adalah:
• Berkurangnya biaya pengendalian hama/penyakit tanaman.
• Berkurangnya frekuensi aplikasi pestisida dari rata-rata 3 kali menjadi 1 kali/periode tanam.
• Berubahnya wawasan petani dalam hal penggunaan pestisida,yaitu dari aplikasi untuk pencegahan ke aplikasi berdasarkan hasil pengamatan.Di tingkat makro, meskipun subsidi pestisida untuk petani sudah dihapus, produksi padi nasional tidak berkurang bahkan terus meningkat, meskipun dengan laju yang melandai dalam dekade terakhir. Hal ini meyakinkan sebagian orang bahwa tanpa pestisida, produksi padi dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan. keyakinan tersebut menimbulkan persepsi bahwa PHT dapat dilakukan tanpa pestisida, satu hal yang menyimpang dari konsep PHT.Teknik penerapan PHT yang dianjurkan oleh Pusat Penelitian Padi Internasional (IRRI) cukup sederhana, yaitu tidak melakukan aplikasi insektisida pada tanaman padi hingga berumur 45 hari setelah tanam. Teknik ini erhasil diterapkan di Vietnam, tetapi tidak dapat diterapkan sepenuhnya di Indonesia karena adanya masalah hama penggerek batang dan penyakit tungro. Khusus untuk penyakit
tungro, periode tanaman peka berada pada stadia muda, yaitu saat tidak diperbolehkan untuk aplikasi pestisida. Di daerah yang hanya dihadapkan pada masalah wereng
coklat, teknik tersebut dapat diterapkan.Dalam implementasinya di lapang, teknik tersebut tidak memperhatikan hasil pengamatan, yang menjadi salah satu komponen penting dalam penerapan PHT. Hal ini bertentangan dengan tujuan SLPHT yang memberikan kesempatan kepada petani untuk mengambil keputusan sesuai dengan hasil pengamatan mereka di lapang.

Visi Penerapan PHT: Kini dan Masa Mendatang
Dalam bercocok tanam padi, PHT tidak bisa diimplementasikan sebagai satu kegiatan yang mandiri, tetapi merupakan bagian dari sistem produksi. Tujuan utama dari usaha tani padi adalah mendapat kan hasil yang tinggi dengan keuntungan yang tinggi pula dalam proses produksi yang ramah lingkungan. Oleh karena itu, PHT perlu integrasikan dan menjadi bagian penting dari budi daya padi yang baik (good agronomy practice).
Pada dasarnya teknik budi daya padi mempengaruhi perkembangan hama dan penyakit. Di masa yang akan datang, PHT sebaiknya menjadi satu paket dengan budi daya padi dalam sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT), sesuai dengan rekomendasi Komisi Padi Internasional kepada FAO pada pertemuan ke-9 tahun 1998 di Mesir. PTT sebagai model atau pendekatan dalam budi daya pertanian mulai diuji coba pada MH 1999/2000 di Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, Jawa Barat. Komponen PTT meliputi penanaman benih muda tunggal, perbaikan aerasi tanah, penggunaan pupuk organik, efisiensi pemupukan N dengan menggunakan bagan warna daun, aplikasi pupuk P dan K berdasarkan hasil analisis tanah, dan efisiensi penggunaan pestisida dengan PHT. Hal mendasar yang perlu mendapat perhatian dalam integrasi PHT ke dalam PTT adalah:• Integrasi komponen pengendalian yang sesuai ke dalam tahapan budi daya sejalan dengan stadia pertumbuhan tanaman.
• Petani berpartisipasi aktif dalam penerapan PHT.
• Penggunaan pestisida hanya dilakukan berdasarkan hasil pemantauan.
• Pemantauan disarankan dilakukan bersama dalam satu hamparan/golongan air.
Uji coba pada MK 2001 melalui jaringan penelitian dan pengkajian (litkaji) Balitpa dengan BPTP di 8 propinsi dan melibatkan partisipasi petani, diketahui bahwa PTT dapat meningkatkan hasil padi 7-38% dengan rasio penerimaan dan biaya antara 1,4-2,9. Pada tahun 2002, PTT menjadi bagian utama dari Kegiatan Percontohan peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T) yang diterapkan di 27 kabupaten di 14 propinsi guna meningkatkan produktivitas padi. Dalam kegiatan ini terlihat konsistensi peningkatan produktivitas padi, rata-rata naik 1t/ha atau 18%, sementara pendapatan meningkat 33%, dari Rp2,6 juta menjadi Rp3,6 juta per hektar. Peningkatan efisiensi terutama diperoleh dari penekanan input produksi seperti benih, pupuk, dan pestisida. Berkurangnya penggunaan pestisida dan meningkatnya pemakaian bahan organik diharapkan dapat memperbaiki kondisi lahan dan menekan pencemaran lingkungan, sehingga produk lebih aman dan kelangsungan proses produksi menjadi lebih terjamin (I Nyoman Widiarta dan Hendarsih S.)
.
Untuk informasi lebih lanjut
hubungi:
Balai Penelitian Tanaman Padi
Jln. Raya 9, Sukamandi, Tromol Pos 11, Cikampek, Subang 41255 Telepon : (0264) 520157Faksimile : (0264) 520158 E-mail : balitpa@vision.net.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar